Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Konfrontasi
Indonesia-Malaysia atau yang lebih dikenal sebagai Konfrontasi saja adalah sebuah perang
mengenai masa depan Malaya, Brunei, Sabah dan Sarawak
yang terjadi antara Federasi Malaysia
dan Indonesia
pada tahun 1962
hingga 1966.Perang
ini berawal dari keinginan Federasi Malaya
lebih dikenali sebagai Persekutuan
Tanah Melayu pada tahun 1961 untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak
kedalam Federasi Malaysia
yang tidak sesuai dengan perjanjian Manila Accord
oleh karena itu Keinginan tersebut ditentang oleh Presiden Soekarno
yang menganggap pembentukan Federasi Malaysia
yang sekarang dikenal sebagai Malaysia
sebagai boneka Inggris
merupakan kolonialisme
dan imperialisme
dalam bentuk baru serta dukungan terhadap berbagai gangguan keamanan dalam
negeri dan pemberontakan di Indonesia.
Pelanggaran
perjanjian internasional konsep THE
MACAPAGAL PLAN antara lain melalui perjanjian Manila Accord
tanggal 31 Juli 1963, Manila
Declaration tanggal 3 Agustus 1963, Joint Statement
tanggal 5 Agustus 1963 mengenai dekolonialisasi
yang harus mengikut sertakan rakyat Sarawak
dan Sabah
yang status kedua wilayah tersebut sampai sekarang masih tercatat pada daftar Dewan
Keamanan PBB sebagai wilayah Non-Self-Governing Territories
Akhir
konfrontasi
Menjelang
akhir 1965, Jendral Soeharto
memegang kekuasaan di Indonesia setelah berlangsungnya G30S/PKI.
Oleh karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang
dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun mereda.
Pada
28 Mei 1966 di sebuah konferensi di Bangkok,
Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik.
Kekerasan berakhir bulan Juni, dan perjanjian perdamaian ditandatangani pada 11 Agustus
dan diresmikan dua hari kemudian.
Dalam
suatu realitas suatu hubungan, baik hubungan personal maupun interpersonal,
nasional maupun internasional, memiliki beberapa keterkaitan dan ketergantungan
satu sama lainnya. Keterkaitan tersebut memberikan kontribusi yang sangat kuat
bagi hubungan pihak-pihak yang bersangkutan. Namun, ketika kita memahami suatu
hubungan antar negara satu dengan lainnya yang diartikan sebagi hubungan
internasional ini, hal-hal yang mempengaruhi baik dari segi positif maupun
negatifnya masih cukup banyak. Entitas Globalisasi membuat negara-negara
menjadi satu dan bergabung membentuk wadah organisasi yang mana tujuan
kedepannya ialah agar dapat tercapainya suatu bentuk kerjasama regional maupun
keamanan bersama.
Masa
Orde baru di Indonesia yang dipimpin oleh Presiden RI ke-2 Soeharto, memberikan
kontribusi yang cukup besar terhadap hubungan luar negeri Indonesia saat itu.
Ketika kita memahami Hubungan Indonesia dengan wilayah negara-negara di Asia
Tenggara pada masa orde baru, suatu bentukan organisasi yang dianggap mampu
mendapat respon yang cukup baik bagi politik luar negeri RI dan sebagai
rekonstruksi pembangunan di sektor ekonomi Indonesia, yang kemudian dikenal
dengan ASEAN atau Association of South-East Asian Nations. Dimana wadah
organisasi ini dipelopori oleh 5 negara pendiri yakni: Indonesia, Malaysia,
Singapura, Filipina, dan Thailand.
Beberapa
kontroversi terus menerpa hubungan Indonesia dengan Malaysia sebelum
pemerintahan orde baru muncul. Seperti yang kita ketahui, pada saat era
presiden Soekarno, politik “Ganyang Malaysia” yang dikeluarkan sebagai senjata
untuk memberontak sekaligus menentang pembentukan persemakmuran Inggris,
federasi Malaysia. Malaysia dinilai sebagai bentuk pengaruh imperialisme barat
yang disebarkan oleh Inggris, dan kemudian, memberikan suatu ide “Konfrontasi”
yang bersifat radikal terhadap kebijakan luar negeri Indonesia yang dikeluarkan
presiden Soekarno pada masa Orde Lama.
Hubungan
Indonesia Malaysia yang pertama kali dikenal dalam konstelasi politik regional,
diawali dengan konfrontasi Indonesia vs Malaysia. Persamaan rumpun (melayu),
sejarah, letak geografis serta
persamaan bahasa yang sama tidak menjadikan Indonesia dan Malaysia menjalin
hubungan yang sangat baik dan berlangsung secara harmonis, bahkan hubungan
Indonesia sangatlah buruk ketika itu. Perbedaan sejarah kolonialisasi membuat
Rezim Soekarno atas ketidakpuasan terbentuknya negara Malaysia pada dekade
tahun 1960an. Penyebarluasan imperialisme barat yang dinilai Soekarno
memberikan pengaruh negatif terhadap kelangsungan negara-negara Asia Tenggara
akhirnya membentuk suatu persepsi dan hubungan yang kurang baik dengan
Malaysia.
Pemulihan
Hubungan Indonesia-Malaysia atas konfrontasi yang dibuat oleh Soekarno,
diakhiri pada tahun 1967 dan sekaligus menggantikan posisi pemerintahan
Soekarno yang jatuh karena pemberontakan G-30S PKI, kemudian berganti menjadi
pemerintahan Soeharto yang sekaligus merupakan awal mula dari pemerintahan Orde
baru ini. Upaya menggalakkan pemulihan
hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia pada khususnya dan Indonesia-PBB pada
umumnya dicerminkan melalui kembalinya Indonesia dalam keanggotaan PBB.
Akan
tetapi, perjalanan hubungan diplomatik antarnegara bertetangga memang tidak
selalu berjalan mulus dan lancar. Utamanya Indonesia belakangan ini gencar
disinggung oleh klaim budaya melalui propaganda pariwisata Malaysia. Kemudian,
isu Terorisme yang gencar dibicarakan. Isu-isu perbatasan wilayah (Sipadan dan
Ligitan, Ambalat, Sabah dan Serawak), penampungan kayu-kayu dan illegal
logging, penyelundupan BBM dan sebagainya sehingga hubungan kedua negara
tersebut sangat kurang harmonis. Malaysia dinilai sebagai bangsa yang sangat
melecehkan Indonesia bahkan menginjak-injak harga diri Indonesia. Dari hal
inilah terlihat bahwa hubungan yang terjalin antara Indonesia-Malaysia tidak
berjalan secara harmonis dan tidak mencerminkan suatu hubungan timbal-balik
dalam lingkup geografis yang dapat menghasilkan kerjasama dari sektor
perekenomian maupun militer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar