Mungkin kampanye anti global warming di negera kita
saat ini sudah mulai surut. Kita telah sibuk mengurusi masalah-masalah yang
terjadi di negara kita akhir-akhir ini. Sebagai blogger, kitapun juga jarang mengkampanyekan tentang
bahaya-bahaya yang ada di depan kita.
Yach… GLOBAL WARMING, seberapa peduli kita dengan hal
itu?? Kita menjadi cenderung egois dengan kesibukan kita. Coba toleh di
sekeliling kita.. sudahkan kita ikut menyelamatkan lingkungan kita dari
perubahan iklim?
Gambar-gambar ini memang untuk membuat kita sedikit
“ndredek” atau nervous. Hanya untuk menginspirasi kita untuk bekerja lebih keras
menghindari bencana-bencana yang sangat-sangat mungkin terjadi di depan kita.
Salah satu tanda dari global warming adalah :
beruang kutub menghilang dari habitatnya. Itu sangat menyeramkan sebab beruang
kutub memberikan tanda kepada kita bahwa perubahan iklim tengah terjadi.
Ikan-ikan juga mati karena global warming.
Angin badai. Kita tau bahwa angin badai terjadi
akibat perubahan iklim, khususnya di atlantic. Ini terror dari global warming
yang dapat menghancurkan rumah dan keluarga kita.
Gletser di Patagonia, Argentina tahun 1928.
Gletser di Patagonia, Argentina 2004. 76 tahun dari perubahan iklim. Dan
sekarang… menyeramkan sekali.
Badai debu terjadi lebih sering di afrika
selatan.
Gambar di atas adalah air terjun besar yang
muncul dari ujung Gletser Brasvell. Tidak biasa hal itu terjadi. Air terjun
seperti ini telah muncul dengan frekuensi berkala di daerah arctic. Setelah
semua itu, ketika abad-lama telah mulai pencairan es di Arctic, sulit untuk
menyangkal diri kita bahwa kita telah mendapat masalah besar.
Kita
mulai dari yang jauh dengan kita, Laut Arktik. Lautan ini sebagian besar
dikenali sebagai samudera es. Ilmuwan yang mengamati perubahan pada lautan es
ini mencatat terjadinya peningkatan panas dua kali lebih cepat dibandingkan
pemanasan di tingkat global. Sejak tahun 1980, samudera es yang terletak Arktik
yang berada di wilayah Eropa telah mencair antara 20-30 persen. Visualiasinya
bisa diliat gambar diatas.
Masih
di Eropa, pegunungan Alpens yang tadinya sebagian besar diselubungi salju
mengalami kemerosotan deposit salju yang parah. Delapan dari sembilan area
gletser/glacier menunjukkan derajat kerusakan yang signifikan dan dalam kurun
waktu satu abad sudah kehilangan sepertiga dari wilayah es.
Tidak
hanya di Eropa, seluruh dataran tinggi di dunia yang selama ini dikenal
memiliki puncak gunung es juga lumer. Salju di puncak gunung tertinggi di
Afrika, Kilimanjaro, setiap bulannya meleleh tak kurang dari 300 meter kubik.
Gunung yang terletak di Tanzania ini menderita kebotakan salju parah bilamana
membandingkan foto udara yang diambil pada tahun 1974, 1990, dan 2001. Dalam
periode satu abad pengamatan, salju di puncak gunung itu meleleh hingga
mencapai 82%. Bila salju tak lagi betah hinggap di puncak gunung itu, nama
gunung itu boleh jadi harus diubah, karena Kilimanjaro dalam bahasa setempat
berarti gunung yang putih atau gunung yang bercahaya.
Mari
beralih ke kawasan yang melahirkan banyak seniman bola, Amerika Selatan. Salju
di negeri-negeri seperti berdataran tinggi seperti Argentina, Peru, Chili juga
menurun drastis. Pegunungan Andes, salah satu surga salju di dunia, mengalami
pelelehan salju ke arah puncak gunung yang sangat signifikan. Antara tahun 1963
hingga 1978, salju mencair rata-rata 4 meter per tahun, dan sejak tahun 1995
hingga sekarang, pelelehan salju mencapai kecepatan 30,1 meter per tahun di
seluruh kawasan yang mengandung glacier. Sementara di Venezuela, negeri
penghasil Miss World terbanyak, dari 6 glacier yang dimiliki negeri tersebut pada
tahun 1972, kini hanya tersisa dua lagi, dan akan hilang paling lambat 10 tahun
sejak sekarang.
Konsekuensi
dari melelehnya salju adalah meningkatnya permukaan air laut, pertama-tama di
kawasan tersebut. Di negeri bola Brasil, garis pantai yang hilang menjadi
lautan rata-rata berkisar 1,8 meter per tahun pada kurun waktu antara 1915
hingga 1950 dan meningkat menjadi 2,4 meter per tahun pada kurun waktu sepuluh
tahun antara 1985-1995.
Apa
yang terjadi di Asia, juga di Indonesia, akibat pemanasan global? Sama dengan
yang terjadi di benua lain, salju-salju di dataran tinggi Asia mengalami
pelelehan yang drastis sekaligus dramatis. Himalaya, gunung tertinggi di dunia
yang menjadi kantong air beku di “atap langit” terus kehilangan saljunya secara
konsisten. Glacier-glacier di Pegunungan Himalaya yang tersebar di
negara-negara seperti India, Tibet, Bhutan, China, terdegradasi dengan amat
cepat. Tujuh sungai besar di Asia yang bermata air dari Himalaya yakni Gangga,
Indus, Brahmaputra, Mekong, Thanlwin, Yangtze, dan Sungai Kuning terancam
eksistensinya yang berakibat pada ratusan juta umat manusia di kawasan
sepanjang aliran sungai-sungai itu.
Tak
hanya di kawasan Asia Selatan, salju di Asia Tengah yang juga terus lenyap satu
per satu. Itu terjadi pula di Puncak Jaya, Papua, satu-satunya daerah
pegunungan tinggi di Indonesia yang memiliki salju. Bila foto udara pada tahun
1972 memperlihatkan puncak gunung yang hampir seluruhnya diselimuti salju,
sekarang puncak gunung itu hanyalah berisi bebatuan dan pepohonan belaka.
Artinya, tidak ada lagi salju di sana.
Pelelehan
es yang diungkap di atas baru merupakan sebagian dari yang sebenarnya terjadi.
Berdasarkan laporan terakhir Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)
terakhir yang dirilis tahun 2007 ini, 30 salju di pegunungan di seluruh dunia
kehilangan ketebalan hingga lebih dari setengah meter hingga tahun 2005 saja.
Dua tahun yang terakhir belum masuk dalam laporan tersebut.
Konsekuensi
dan resiko dari hal hal diatas adalah :
Karena
energi bersifat kekal, salju-salju tadi dengan sendirinya tidak hilang dan
hanya berubah bentuk. Ibarat es yang ada dalam sebuah gelas, ketika ia terkena
panas dan mencair, volume air itu tidak berkurang atau bertambah, melainkan
hanya berubah. Maka, konsekuensi pertama dari meningkatnya suhu bumi yang
melelehkan salju dan deposit-deposit air tadi adalah kian bertambahnya air di
permukaan bumi. Peningkatan tersebut dapat dideteksi di seluruh penjuru bumi
dan dibuktikan melalui sejumlah foto udara yang membandingkan suatu kawasan pada
puluhan tahun silam dengan kondisi kontemporer.
Namun,
konsekuensi meningkatnya suhu bumi tidaklah sesederhana itu.
Perubahan-perubahan ekologis yang terjadi pada lingkungan di mana manusia dan
makhluk hidup lainnya hidup membawa dampak yang mengerikan bagi umat manusia.
Hukum fisika menyatakan, angin bergerak dari tempat yang dingin ke tempat yang
lebih panas. Nah, perbedaan temperatur suatu kawasan dengan kawasan lain yang
sangat ekstrem pada waktu bersamaan telah memicu munculnya angin topan, badai,
dan tornado menjadi lebih sering dibandingkan beberapa tahun silam.
Negara-negara di kawasan Amerika Utara, Tengah, Selatan dan Karibia, Eropa,
juga Asia Selatan dan Timur sudah merasakan dampak yang ditimbulkan dari topan
badai ini. Topan yang memiliki nama-nama nan indah menerpa warga di seluruh
bumi secara memilukan dan sekaligus mematikan.
Arus
pergerakan air tidak hanya membawa musibah banjir bandang, tetapi juga disertai
tanah longsor akibat penggundulan hutan yang berlangsung setiap menit. Dalam
waktu bersamaan, belahan dunia yang satu terancam kekeringan dan kebakaran,
tempat lainnya dilanda topan badai, banjir dan tanah longsor yang
menyengsarakan ratusan juta umat manusia.
dari
kutipan kutipan disimpulakan bahwa iklim memang bersangkutan dengan global
warming! jika iklim membaik maka global warming akan terkurangi. tapi semakin
memburuknya iklim semakin tinggi global warming yang akan melanda. Let’s Save
Our Earth.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar